Suku Sambas (Melayu Sambas) adalah suku bangsa atau etnoreligius Muslim yang berbudaya melayu, berbahasa Melayu dan menempati sebagian besar wilayah Kabupaten Sambas, Kabupaten Bengkayang, Kota Singkawang dan sebagian kecil Kabupaten Pontianak- Kalimantan Barat. Suku Melayu Sambas terkadang juga disebut Suku Sambas, tetapi penamaan tersebut jarang digunakan oleh masyarakat setempat.
Secara liguistik Suku Sambas merupakan bagian dari rumpun Suku Dayak, khususnya dayak Melayik yang dituturkan oleh 3 suku Dayak : Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas
yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu
yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Kutai, Tidung dan
Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) serta Paser (rumpun Barito
Raya).
Pada awalnya Sambas bukanlah nama suku, akan tetapi nama tempat/wilayah
dan nama Kerajaan yang berada tepat di pertemuan 3 sungai yaitu sungai
Sambas Kecil, sungai Subah dan sungai Teberau yang lebih dikenal dengan
Muara Ulakan. Seluruh masyarakat asli Kalimantan sendiri sebenarnya
adalah Serumpun, Antara Ngaju, Maanyan, Iban, Kenyah, Kayatn, Kutai (
Lawangan - Tonyoi - Benuaq ), Banjar ( Ngaju, Iban , maanyan, dll ),
Tidung, Paser, dan lainnya. Hanya saja Permasalahan Politik Penguasa dan
Agama menjadi jurang pemisah antara keluarga besar ini. Mereka yang
meninggalkan kepercayaan lama akhirnya meninggalkan adatnya karena lebih
menerima kepercayaan baru dan berevolusi menjadi Masyarakat Melayu
Muda. Khususnya dalam Islam maupun Nasrani,
hal - hal adat yang bertolak belakang dengan ajaran akan ditinggalkan.
Sedangkan yang tetap teguh dengan kepercayaan lama disebut dengan Dayak.
Adat-istiadat lama Suku Melayu Sambas banyak kesamaan dengan
adat-istiadat Suku Dayak rumpun Melayik misalnya; tumpang 1000, tepung
tawar, dan lainnya yang bernuansa Hindu.
Secara administratif, Suku Sambas merupakan suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 12% dari penduduk Kalimantan Barat, sebelumnya suku Sambas tergabung ke dalam suku Melayu
pada sensus 1930. Sehubungan dengan hal tersebut kemungkinan "Dialek
Melayu Sambas" meningkat statusnya dari sebuah dialek menjadi bahasa
kesukuan yaitu Bahasa Suku Sambas.
Perubahan Suku Sambas secara drastis setelah masuk Islam, hampir
menghapus jejak asal muasalnya yaitu Suku asli yang mendiami pulau
Kalimantan. Kebudayaan Melayu yang dianggap lebih "beradab", membantu
menghilangkan budaya Dayak pada Suku Sambas dengan cepat. Sehingga
Sambas yang dahulunya beragama Hindu Kaharingan kehilangan jejak
Kaharingan, walaupun sebagian kecil ada yang tersisa. Akibatnya orang
lebih yakin Sambas adalah Melayu, padahal tidaklah demikian. Tentu saja
segala hal dalam adat lawas dianggap syirik (bertentangan dengan agama)
jadi harus dimusnahkan dan ditinggalkan.
Sulitnya data semakin mempersulit para peneliti untuk mencari jejak asal
muasal Suku Sambas. Membuat hasil penelitian terlihat ambigu bahkan
samar. Peneliti seringkali mengklasifikasikan berdasarkan bahasa,
sedangkan menurut orang Kutai dan Tunjung-Benuaq mengenal tradisi lisan
yang mengklasifikasikan golongan berdasarkan budaya dan sejarah
budayanya serta geneologi. Oleh karena itulah Suku Sambas
diklasifikasikan ke dalam suku Dayak berbudaya Melayu.
Namun, berdasarkan kajian dengan pendekatan sejarah, asal usul
masyarakat yang sekarang disebut Melayu Sambas adalah hasil asimilasi
beberapa suku bangsa di Nusantara yaitu yang sekarang disebut Melayu
Sambas adalah asimilasi dari Orang Melayu (yang datang dari Sumatera
sekitar abad ke-5 M hingga 9 M pada masa Kerajaan Malayu atau masa awal
Kerajaan Sriwijaya), Orang Dayak (penduduk lebih awal yang secara turun
temurun sebelumnya telah mendiami Sungai Sambas dan percabangannya),
Orang Jawa (yaitu serombongan besar Bangsawan Majapahit keturunan
Wikramawardhana bersama para pengukutnya yang melarikan diri secara
boyongan dari Majapahit karena perang sesama Bangsawan di Majapahit pada
awal abad ke-15 M yang kemudian mendirikan sebuah Panembahan di wilayah
Sungai Sambas) serta Orang Bugis (para Nakhoda dan pembuat kapal
bersama keluarganya dari Sulawesi yang kemudian membentuk sebuah
perkampungan Bugis yang bekerja untuk Sultan-Sultan Sambas di masa awal
dan pertengahan Kesultanan Sambas).
Masyarakat Melayu Sambas secara Budaya dan Intelektual adalah yang
terkemuka di Kalimantan Barat, beberapa budaya Melayu Sambas yang masih
populer di kalangan Masyarakat Kalimantan Barat dari dulu (masa
Kerajaan) hingga sekarang diantaranya adalah Kain Khas yaitu yang
disebut Kain Sambas / Kaing Lunggi / Kain Songket Sambas, Makanan Khas
yang disebut Bubbor Paddas / Bubur Pedas (dengan khas menggunakan daun
Kesum / daun Kesuma), Lagu-Lagu Daerah Sambas (dari masa lampau /
Kerajaan) sangat mendominasi khazanah lagu-lagu daerah di Kalbar hingga
sekarang disamping Lagu-lagu daerah Dayak dan banyak lagu-lagu daearah
Sambas itu adalah berstatus anonim yang tidak diketahui siapa pembuatnya
karena sudah begitu lama yang dilantunkan secara turun temurun dari
generasi ke generasi seperti Lagu Alok Galing, Cik cik Periuk, Kapal
Belon dan lainnya, Tarian Daerah Khas Sambas seperti Tandak Sambas,
Jepin dan lainnya.
Pada masa Kerajaan (Kesultanan Sambas) masyarakat Melayu Sambas juga
terkenal sangat Agamis (Islam) yang paling terkemuka di Kalimantan Barat
sehingga sempat disebut sebagai "Serambi Makkah" Kalimantan Barat. Pada
masa Kerajaan, Ulama-Ulama Islam dari Kesultanan Sambas sangat
terkemuka dibanding Kerajan-Kerajaan lainnya di Kalimantan Barat ini,
bahkan Ulama-Ulama Islam dari Kesultanan Sambas telah ada yang
berkaliber Internasional misalnya pada abad ke-19 M ada Ulama Kesultanan
Sambas yang bernama Shekh Khatib Achmad As Sambasi yang menjadi Ulama
di Makkah Al Mukarramah dan menjadi Pemimpin Ulama-Ulama Nusantara yang
menuntut Ilmu Agama di Makkah dengan gelar Shekh Sharif Kamil Mukammil.
Kemudian pada abad ke-20 M ada Ulama Kesultanan Sambas bernama Shekh
Muhammad Basuni Imran (Mufti Kesultanan Sambas) yang adalah lulusan Al
Azhar kairo, Mesir yang terkenal di Timur Tengah karena suratnya kepada
Mufti Mesir yang berjudul "Mengapa Umat Islam saat ini Mengalami
Kemunduran". Jejak kejayaan Islam di Sambas itu yang masih nampak pada
sekitar tahun 80-an dimana Qori-qori dari Sambas cukup mendominasi dalam
mewakili Kalimantan Barat di tingkat Nasional dan Internasional.
Sedangkan di masa Kerajaan, Kesultanan Sambas adalah sebuah Kerajaan
Maritim (Pesisir) yang sempat menjadi Kerajaan terbesar di wilayah
Borneo Barat (Kalimantan Barat) selama sekitar 100 tahun (dari awal
tahun 1700-an hingga awal tahun 1800-an). Urutan Kerajaan-Kerajaan
terbesar di Kalimantan Barat dari awal adalah Kerajaan Tanjung Pura yang
setelah runtuh dilanjutkan oleh Kesultanan Sukadana, lalu ketika
Kesultanan Sukadana melemah posisi Kerajaan terbesar di Kalimantan Barat
itu beralih dipegang oleh Kesultanan Sambas yang kemudian setelah
masuknya Belanda ke wilayah Kalimantan Barat pada tahun 1818 posisi
Kerajaan terbesar di Kalimantan Barat beralih dipegang oleh Kesultanan
Pontianak. Kesultanan Sambas berdiri pada tahun 1671 M yang kemudian
memerintah selama sekitar 279 tahun melalui Pemerintahan 15
Sultan-Sultan Sambas dan 2 Ketua Majelis Kesultanan Sambas secara turun
temurun hingga kemudian berakhirnya Pemerintahan Kesultanan Sambas
dengan bergabung ke dalam Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun
1950.
Kabupaten Sambas terkenal dengan sebuah peninggalan sejarah yaitu sebuah keraton peninggalan Kesultanan Sambas.
Penduduknya mayoritas melayu, dan berbahasa melayu. Sebagian besar
bahasa yang digunakan adalah sama. Bahasa Melayu sangat mudah dipahami,
apalagi bagi orang yang mendengar orang Betawi berbicara, karena kurang
lebih bahasa Betawi
dan Melayu sama, misalnya: Seseorang berbicara, "Kamu mau ke mana?",
jika dalam bahasa melayu "Kau nak ke mane", (penyebutan "e" dalam bahasa
melayu, sedangkan bahasa suku Sambas membunyikan "e" seperti bunyi pada
kata "lele". Keunikan lain dari bahasa Melayu Sambas adalah pengucapan
huruf ganda seperti dalam Bahasa [Melayu] Berau di Kalimantan Timur, seperti pada kata 'bassar' (artinya besar dalam bahasa indonesia).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar